Oleh: Dahlan Iskan
Senin 12-12-2022
NewsParameter.Com | Jakarta — IA dokter hewan tapi pasien manusianya banyak sekali. Ia dokter hewan paling terkenal di Indonesia karena prestasi keilmuannya: drh Yuda Heru Fibrianto MP PhD.
Anda sudah tahu: ia adalah orang Indonesia yang mampu melahirkan anjing secara kloning. Sampai hari ini, baru Yuda orang Indonesia yang mampu melakukannya.
Itu terjadi di Seoul, Korea Selatan. Yakni ketika Yuda menekuni penelitian untuk meraih gelar doktornya.
Tentu Yuda harus berkutat di bidang sel. Juga embrio. Terutama bagaimana sel itu bisa hidup, berkembang, dan membentuk tubuh. Termasuk membentuk organ dan anggota tubuh lainnya. Lalu tubuh bisa hidup sebagai makhluk ciptaannya, ups, ciptaan Tuhan.
Pulang ke Indonesia Yuda terus menekuni sel dan embrio. Ia mengajar di kampus tempatnya memperoleh gelar dokter hewan: Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia seorang peneliti yang amat serius.
Ia tahu makanan sel makhluk hidup itu adalah protein sel. Protein khusus itu dihasilkan oleh sel itu sendiri. Tanpa protein sel semua sel akan mati. Dengan protein sel bisa membelah diri. Berkembang. Tentu kalau tersedia banyak protein sel maka sel-sel kita tumbuh sehat. Lalu badan kita pun sehat.
Di masyarakat, drh Yuda dikenal mampu menyembuhkan orang dengan mempraktikkan stemcell. Itu tidak sepenuhnya benar. Yuda tidak mau memasukkan sel punca ke tubuh manusia. Ia memilih memasukkan protein sel.
Saya mampir ke rumahnya di Magelang Sabtu pagi lalu. Yakni dalam perjalanan saya dari Subang-Cirebon-Waleri-Magelang-Banyumas. Mampir-mampir. Di rumah itu saya ngobrol dengan drh Yuda yang begitu santainya. Di tengah obrolan itu satu per satu orang datang. Beberapa di antaranya saya kenal. Termasuk mantan bupati Demak yang terlihat begitu kesakitan.
Saya jadi sungkan mengganggu waktu tunggu orang sakit. Ingin sekali saya bisa ngobrol selama dua jam. Tapi yang antre kian banyak: 12 orang.
Mengapa Yuda tidak mau melakukan stemcell saja? Seperti yang mulai banyak dilakukan berbagai klinik di Indonesia?
“Saya memang bisa membiakkan sel manusia. Lalu menyuntikkannya kembali ke tubuh manusia. Tapi repot,” ujar Yuda. Kerepotan itu, misalnya, ia harus mengambil lebih dulu sel dari pasien. Baik lewat pengambilan darah atau pun lemak. Lalu membiakkannya menjadi ratusan juta sel. Lantas memasukkannya ke tubuh pasien. “Repot. Banyak pekerjaan. Saya kan bukan dokter,” ujarnya.
Maka kecerdasan dan logika Yuda pun bermain. Mengapa tidak memasukkan protein sel saja ke tubuh manusia. Agar sel tersebut mendapat makanan sehat yang cukup. Lalu sel itu bisa membiak sendiri di dalam tubuh secara sehat.
Memasukkan protein sel lebih mudah dan sederhana: bagi orang pintar seperti Yuda. Apalagi Yuda tahu dari mana mendapatkan protein sel itu. Pun kalau kebutuhannya banyak sekali.
Protein sel itu ia ambil dari ”wilayah” sel. Di mana ada sel di situ ada protein sel. Maka kalau ia mengambil sejumlah sel, akan terambil pula protein selnya.
Hanya protein selnya saja yang ia ambil. Selnya sendiri ia sisihkan. Tentu hanya orang cerdas seperti Yuda yang bisa mengambil protein tanpa selnya terikut.
Setelah protein sel itu ia dapatkan, pekerjaan selanjutnya adalah memperbanyaknya. Lewat cara kultur. Dengan kultur itu ia pun bisa mendapatkan protein sel dalam jumlah sebanyak yang ia kehendaki.
Apakah sekarang ini ia punya banyak stok protein sel di rumahnya?
Punya. Banyak sekali. Bentuknya benda cair berwarna merah jingga. Saya pun minta untuk bisa melihat stoknya itu. Saya diajak ke kamarnya. Ada kulkas besar di pojok kamar itu. Dibuka. Wow! Saya terperangah. Ada lebih 10 botol ukuran @2 liter di kulkas itu. Isinya protein sel manusia. Saya mengatakan dalam hati: Yuda ternyata menyimpan sumber kehidupan tubuh manusia. Dalam jumlah besar.
Orang-orang sakit yang datang ke rumahnya itu hanya punya satu tujuan: minta disuntik protein sel. Satu orang hanya disuntik 3 mililiter. Bayangkan yang di kulkas itu: bisa untuk berapa ribu orang.
Pagi itu, setelah senam Disway dan kuliah umum di Universitas Tidar yang kini maju pesat, saya baru tahu ada logika sehat seperti itu.
Saya pun melihat tabung-tabung kecil ditaruh di sebuah mangkuk di meja tamu. Isinya cairan warna merah jingga. Rupanya dari botol besar di kulkas itu dipindah ke tabung-tabung kecil. Satu tabung untuk satu suntikan. Di satu pantat.
Saya pun minta disuntik. Sekadar ingin tahu rasanya. Saya langsung memelorotkan celana di ruang tamu itu. Toh tidak ada Dewi Kwan Im di situ.
Bles. Selesai.
Saya pun pamit.
Saya sempat bertanya lagi: mengapa cairan yang akan disuntikkan itu ditaruh di meja tamu begitu saja. “Ini supaya hilang dinginnya. Ikut suhu ruangan,” katanya. Oh, iya. Cairan itu akan dimasukkan ke tubuh. Suhu tubuh sendiri sekitar 36 derajat celsius.
“Praktik Anda ini pasti kontroversial. Mengapa tidak mengalah saja dengan kuliah lagi di fakultas kedokteran?” tanya saya.
“Anak kedua saya sedang menyelesaikan kuliah di kedokteran UGM,” ujar ujar Yudha yang kini berumur 53 tahun. “Biar anak saya saja nanti,” tambahnya.
Tiga tahun lalu drh Yuda pernah ditangkap polisi. Tahun 2020. Sampai diadili. Prosesnya sudah sampai Mahkamah Agung. Ia dinyatakan bersalah: bukan dokter melakukan praktik pengobatan. Vonis hakim agung menyebutkan ia tidak harus masuk penjara. Hukumannya: denda. Rp 25 juta.
Yang membuat hukumannya ringan adalah: tidak ada yang mati karena pengobatan ini. Bahkan tidak ada yang terkena efek samping. Saksi-saksi semua mengaku sakitnya sembuh. Yakni penderita diabetes, stroke, saraf, dan banyak lagi.
Salah satu saksi itu adalah Tonny Kurniawan, anaknya almarhum Hoei Hwa Kin. Ia pemilik toko emas di Yogyakarta. Tonny sudah berobat ke mana-mana. Dokter memvonisnya: hidupnya tinggal tiga tahun. Ia pun cari alternatif pengobatan apa saja. Lalu bertemu Yuda itu.
Teman-teman Tonny ikut minta disuntik yang sama. Maka ketika Yuda datang ke toko emas milik Tonny, teman-temannya ikut suntik. Lama-lama ruang belakang toko Tonny itu jadi semacam tempat praktik. Sampai Yuda ditangkap.
Tonny di persidangan tidak menyalahkan Yuda. “Saya yang minta tolong pada beliau. Dan saya sembuh. Apa salahnya meminjamkan ruang belakang itu,” katanya di persidangan.
Dari mana Yuda mendapatkan protein sel itu?
Yuda mendapatkan bahan baku dari temannya. Yakni teman yang bekerja di rumah sakit bersalin. Yuda minta dipotongkan 2 cm plasenta bayi yang akan dikubur. Dari situlah sel dan protein sel diambil.
“Kalau sel memang harus dari sel tubuh pasien sendiri. Tapi kalau protein sel bisa dari protein selnya siapa saja,” katanya.
Yuda tahu bahwa saya sering menjalani stemcell di dr Purwati. Dulu. Juga di klinik dr Yanti. Atau menjalani PRP di dr Karina yang keriting total itu. “Saya yang menguji ketika dr Purwati ujian doktor,” ujar Yuda.
Ngobrol dengan drh Yuda saya seperti ngobrol dengan drh Indro. Orangnya agak gemuk, pakaiannya kucel-semrawut dan orangnya cuek. “Saya harus melakukan pengabdian ini. Saya pernah mau mati. Kepala saya sampai harus dibuka,” katanya.
Itu terjadi di Seoul saat akan meraih gelar doktor di sana. Ia kena penyakit kanker otak. Sembuh.
Saya pun lama berpikir: harus diapakan orang seperti Yuda ini. (Dahlan Iskan)