NewsParameter..Com | Jepara – Apakah perlu Peraturan Desa (Perdes) dalam setiap proses pembangunan, hal ini mengemuka dan menjadi bahan perbincangan dalam audiensi antara Ormas DPD PEKAT- IB Jepara dan Pemerintah Desa Banyuputih, Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara.
Hal ini ditanyakan langsung oleh Priyo Hardono Ketua Ormas DPD PEKAT- IB Jepara dan salah satu perangkat desa Banyuputih, Kecamatan Kalinyamatan.
“Apakah dalam setiap proses pembangunan di desa harus ada Perdesnya,” ujar Perangkat desa Banyuputih mempertanyakan kepada .Wafa Elvi Syahiroh, Kabag Hukum Setda Jepara.
Senada dengan itu, Priyo Hardono juga mempertanyakan apakah boleh pembangunan yang berasal dari dana masyarakat, CSR atau hibah tanpa Perdes.
Menjawab pertanyaan tersebut, Wafa Elvi Syahiroh, Kabag Hukum Setda Jepara menjelaskan bahwa, Perdes adalah peraturan yang dibuat oleh desa dan kalau semua peraturan dan penetapan, sama – sama mengacu pada regulasi yang ada.
“Kalau setiap kali pembangunan harus ditetapkan dengan Perdes, nanti tidak kerja-kerja. Yang terpenting dalam hal ini adalah, pertanggungjawaban pengelolaan keuangan, karena sumbernya dari CSR , warga masyarakat atau lainnya,” terang Wafa Elvi Syahiroh.
“Yang terpenting, desa bisa menjelaskan transparan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Tetapi tidak perlu dibentuk dengan Perdes,” jawab Wafa Elvi Syahiroh.
Atas jawaban dan penjelasan Kabag Hukum Setda Jepara tersebut, Priyo berucap,” Masak kita membangun di wilayah pemerintahan desa, seperti kita membangun rumah sendiri, kan tidak elok dan etis!,” ucapnya.
Hal ini dipertanyakan dalam audiensi Selasa (13/12/2022) di ruang Command Center Pendopo Kabupaten Jepara, Jam 16.00 WIB – selesai, yang dihadiri oleh Pj Bupati Jepara Edy Supriyanta, Wafa Elvi Syahiroh Kabag Hukum Setda Jepara, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jepara Farikhah Elida, Mohammad Rosyidi dari DPUPR, Ratib Zaini dari DKPP, M. Zainul Arifin dari DPMPTSP, Uyeng S dari PT. Hwaseung Indonesia (HWI) Jepara, Joko Prakoso Petinggi/Kades, Ketua BPD dan Carik dari Desa Banyuputih serta Priyo Hardono Ketua Ormas DPD PEKAT- IB Jepara bersama 5 orang anggotanya.
Dalam acara audiensi, perwakilan Pemdes Banyuputih menerangkan tentang pembangunan pasar di depan PT. HWI, sudah melalui proses mekanisme dan sosialisasi.
Joko Prakoso petinggi desa Banyuputih menjelaskan bahwa,” Uang 500jt dari PT. HWI dan 290 juta dari Dana Desa (DD) , kita gunakan untuk pembangunan pasar dan peningkatan PAD Banyuputih. Karena sewa kios akan dikenakan biaya sebesar Rp. 10jt dari 128 kios. Dan, bisa memperoleh Rp. 1M 280jt, ini akan bisa menjadi contoh desa mandiri di Kabupaten Jepara dan tidak tergantung dengan anggaran Dana Desa (DD) ,” ujarnya.
Sedangkan, perwakilan PT. HWI menjelaskan kalau semua atas permintaan dan kebutuhan PT. HWI, termasuk perombakan pasar depan PT. HWI.
Selanjutnya, Kepala DLH Jepara, saat diminta penjelasan terkait penutupan TPA Gemulung memaparkan melalui video slide, terkait kronologis penutupan TPA Gemulung.
“Masyarakat sudah kami berdayakan dan siapkan program desa mandiri sampah di Kecamatan Kalinyamatan sudah berhasil, dan Rp. 150jt uang beredar dari sampah,” ujar Elida.
Kemudian, Pj Bupati Jepara berjanji, akan segera mendatangi TPA Gemulung bersama DPD PEKAT-IB Jepara.
Sementara Edy Marwoto Kepala Dinsospermasdes Jepara, saat dihubungi awak media melalui pesan WhatsApp terkait apakah setiap pembangunan di desa harus ada Perdes atau tidak, contoh pembangunan pasar desa yang menggunakan tanah/aset desa dengan anggaran dari CSR, dana masyarakat atau DD (Dana Desa).
Edy Marwoto menjawab, “Iya harus masuk didalam Perdes APBDes,” tulisnya.
Sementara, Priyo Hardono Ketua Ormas DPD PEKAT- IB Jepara menyayangkan keterangan dari Kabag Hukum Setda Jepara, kalau pembangunan di desa tidak perlu ditetapkan dengan Peraturan Desa (Perdes).
“Pernyataan Kabag Hukum Setda Jepara, kalau pembangunan di desa tidak perlu ditetapkan dengan Peraturan Desa (Perdes), bertentangan dengan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Perbup Jepara No. 45 Tahun 2014,” cetus Priyo.
Priyo menambahkan bahwa, mengingat Peraturan Desa (Perdes) merupakan kerangka hukum kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di lingkup desa. Penetapan Peraturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki desa dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
“Sebagai sebuah produk hukum, Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan umum,” imbuhnya.
Dan, Peraturan Desa (Perdes) adalah merupakan salah satu bentuk peraturan perundang- undangan yang dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa dan pengelolaan tanah kas desa harus dimuat materi dalam peraturan desa, karena Perdes adalah Produk Hukum Desa dan bisa menjadi payung hukum dalam proses pembangunan di wilayah desa.
Kemudian Priyo kepada awak media memberikan keterangan adanya Perbup Jepara No. 45 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembentukan Produk Hukum Desa pada BAB II Jenis Produk Hukum Desa pada Pasal 2 Jenis Produk Hukum Desa meliputi :
a. Peraturan Desa, b. Peraturan Petinggi, c. Peraturan Bersama Petinggi dan d. Keputusan Petinggi.
Kemudian, isi dan bunyi Pasal 3 tentang materi muatan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a adalah seluruh materi muatan dalam rangka Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa, serta penjabaran lebih lanjut dari ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan bersifat umum.
“Jelas Kabag Hukum Setda Jepara, kurang menganalisa terkait laporan DPD PEKAT-IB Jepara, tentang permasalahan pembangunan pasar di desa Banyuputih dan Perdes yang menjadi payung hukumnya,” ujar Priyo.
“Kemudian, alih fungsi atau konversi lahan pertanian dan Ruang Terbuka Hijau yang menempati tanah bondo desa atau aset desa, apakah sudah melalui mekanisme Perdes yang sah dan apakah sudah sesuai dengan Pasal 44 Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan secara tegas mengatur lahan yang udah ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan harus dilindungi dan haram dialihfungsikan.”
“Konversi atau alih fungsi lahan dan bangunan diatasnya (bangunan parkir) berlangsung sekitar tahun 2016 dan tentunya melanggar Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 2009, karena pembangunannya, sebelum berlakunya UU CIPTA KERJA.”
“Mengingat lahan parkir PT. HWI dibangun sebelum disahkannya UU CIPTA KERJA (UUCK) atau UU No. 11 Tahun 2020 (Omnibus Law),” paparnya.
“Dan, Ruang Terbuka Hijau (RTH) milik PT. HWI berada di tanah aset desa,” tambahnya.
“Adanya uang pemberian PT. HWI kepada Pemdes Banyuputih, hal ini perlu diaudit oleh pihak inspektorat dan pihak Kejaksaan, karena ada kaitannya dalam hal alih fungsi lahan aset desa Banyuputih kepada PT. HWI,” pungkas Priyo Hardono.
Agus Prastio