NewsParameter.Com | JAKARTA – Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kemendagri Restuardy Daud mewakili Mendagri Muhammad Tito Karnavian menghadiri rapat koordinasi pembahasan kebijakan perdagangan karbon (carbon trading) yang dipimpin langsung Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Senin (27/3/2023) di Ruang Rapat Lantai 2 Selatan Kemenko Kemaritiman dan Investasi.
Rapat tersebut dihadiri Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Investasi/Kepala BPKM, Wakil Menteri BUMN, Kepala Otoritas Jasa Keuangan, Pejabat Eselon I terdiri dari Kemenko Marives, KLHK, Kemen ESDM, Kemendagri (Dirjen Bina Pembanguann Daerah), Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Staf Khusus Menko Marves serta Tenaga Ahli Menko Marves.
Pada kesempatan itu, Luhut menyampaikan perlunya pengaturan teknis tata kelola perdagangan karbon dengan prinsip kehati-hatian dari segala aspek pertimbangan.
Dalam pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) hingga tahun 2030 dibutuhkan dana sejumlah Rp4.002 triliun, tetapi dana APBN yang dapat disiapkan oleh Kementerian Keuangan baru sekitar 25-40%.
Menyoal hal tersebut, pemenuhan kekurangan dana APBN memerlukan dukungan dari sektor non-pemerintah seperti swasta, CSO, dan mitra strategis dalam sistem investasi hijau yang dapat difasilitasi melalui perdagangan karbon, baik domestik maupun internasional, termasuk Voluntary Carbon Market/VCM).
Selanjutnya, potensi nilai ekonomi karbon sektor kehutanan dari pasar VCM lebih tinggi dibandingkan RBP yang diterima Indonesia saat ini.
Selama satu tahun terakhir, terdapat delapan negara yang telah membuka VCM melalui bursa karbon antara lain: Jerman (Maret 2022), Hongkong (Maret 2022), Singapura (April 2022), Uni Emirat Arab (April 2022), Arab Saudi (September 2022), Malaysia (Desember 2022), India (regulasi sudah mendukung), dan Brazil (2022).
Khusus pada Bidang Kehutanan, total potensi nilai ekonomi Natured Based Solution (NBS) Indonesia dari hutan, gambut, dan bakau mencapai Rp 199-269 triliun/tahun (USD 13-18 miliar) berdasarkan offset karbon melalui mekanisme RBP. Jumlah tersebut bisa lebih tinggi jika menggunakan mekanisme pasar VCM.
Untuk itu, perlu pengaturan ketat dalam penerapan offset karbon melalui penguatan Sistem Registri Nasional (SRN) dan mengembangkan standar kualitas yang high integrity, yang menempatkan pelaku usaha sebagai ujung tombak pencapaian target NDC.
Untuk penerimaan yang lebih tinggi, perdagangan karbon diarahkan menggunakan mekanisme Pasar karbon atau Emission Trading System (ETS), yang bisa dilakukan melalui pasar saham.
Luhut menambahkan perlunya pengaturan instrumen perdagangan karbon yang ketat dan tegas sehingga dapat bersaing dengan negera lain dan serapan karbon Indonesia tetap terjaga dengan baik.