Newsparameter | Bitung – Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bitung menyatakan bahwa 80% kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk mereka yang memiliki pendidikan tinggi, sering kali dipicu oleh pengaruh minuman keras (miras).
Hal tersebut disampaikan Kepala Kejaksaan Negeri Bitung (Kejari), Dr Yadyn Pelebangan SH MH saat kegiatan Hari Anti Korupsi Sedunia yang dilaksanakan di halaman Kantor Kejaksaan Negeri Bitung. Senin, (09/12/2024).
Ia menyoroti perlunya langkah strategis dalam menanggulangi persoalan ini, serta meminta tanggapan terkait pengalaman internasional yang dapat dibandingkan dengan kondisi di Indonesia.
“Bahkan, beberapa negara seperti Belanda telah melakukan langkah-langkah khusus, seperti pengendalian toksisitas dalam minuman beralkohol. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk mengatasi dampak miras terhadap kekerasan. Selain itu, bagaimana strategi pemerintah untuk menurunkan tingkat kekerasan, terutama terhadap perempuan dan anak?” ujar Kejari dalam diskusi tersebut.
Menanggapi hal itu, Mister Hein, salah satu narasumber di kegiatan tersebut menyampaikan bahwa budaya dan perspektif mengenai maskulinitas yang salah perlu dibongkar secara bertahap. Dalam program ini, edukasi dilakukan melalui dialog dan diskusi yang mendalam.
“Kami mengajarkan anak laki-laki bahwa menjadi pria sejati bukan berarti harus melakukan hal negatif seperti minum alkohol, merokok, atau bahkan merendahkan perempuan. Sebaliknya, pria sejati adalah mereka yang bertanggung jawab dan melindungi perempuan di lingkungannya. Hal ini dibahas intensif dalam sesi pertama hingga keempat dari kurikulum delapan minggu kami,” ujar Hein.
Ia juga menambahkan bahwa budaya ini tidak bisa diubah secara instan, tetapi membutuhkan waktu dan komitmen. Salah satu materi penting yang diajarkan adalah bagaimana anak-anak laki-laki dapat berkata tidak terhadap tekanan kelompok yang mengarah pada perilaku negatif.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kadis PPPA) Meiva Woran, menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya dialami perempuan, tetapi juga laki-laki, meskipun kasusnya lebih jarang.
“Menurut Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), anggota keluarga mencakup suami, istri, anak, bahkan asisten rumah tangga. Kekerasan fisik sering dilaporkan oleh perempuan, tetapi untuk laki-laki, terutama dewasa, kasus ini jarang ditemukan. Namun, ada kasus kekerasan seksual terhadap anak laki-laki di bawah umur yang telah kami tangani, seperti kasus sodomi,” jelasnya.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya pendekatan emosional dalam mengatasi masalah ini.
“Setiap individu memiliki ‘bahasa cinta’ yang berbeda. Dengan memahami dan memenuhi kebutuhan emosional pasangan atau anggota keluarga, kekerasan dalam rumah tangga dapat diminimalkan,” tambah Kadis.
(Usman)