Newsparameter.com | Jayapura – Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) kembali didatangi puluhan pengunjuk rasa yang tergabung dalam Koalisi Peduli Masyarakat Adat Suku Aywu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan pada Jumat, (06/10/2023).
Kedatangan Koalisi Peduli Masyarakat Adat Suku Aywu ke DPRP dalam rangka mendesak DPR Papua segera mengawasi eksekutif untuk memastikan perlindungan, pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua sebagaimana ditegaskan para pengunjung rasa ketika secara berganti-ganti menyampaikan orasi dihalaman kantor DPRP.
Setelah hampi 30 menit melakukan orasi, massa pengunjung rasa akhirnya ditemui oleh perwakilan Anggota DPRP, diantaranya Anggota Komisi I DPRP Yonas Alfons Nusi dan Nioluen Kotouki didamping Sekretaris DPRP Dr. Juliana J Waromi,SE.,M.Si.
Dihadapan para Anggota DPRP ini, pernyataan sikap Koalisi Peduli Masyarakat Adat Suku Aywu, Kabupaten Boven Digoel dibacakan oleh Sarah Swabra yang isinya antara lain, pertama, meminta DPRP harus menjadi lembaga independen dan lepas dari cengkraman oligarki untuk dapat mengawasi eksekutif untuk memastikan perlindungan, pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat.
Kedua, mendesak DPRP harus mengusulkan kebijakan dan memproduksi regulasi yang melindungi hak-hak masyarakat adat.
Ketiga, mendesak DPRP memanggil Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Provinsi Papua sebagai bentuk mengevaluasi terhadap kebijakan yang belum menghormati, melindungi, menegakan dan memajukan hak masyarakat adat Papua.
Keempat, meminta DPRP merekomendasikan Kepala Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua wajib menghormati, melindungi, menegakan dan memajukan hak masyarakat adat Papua khususnya masyarakat adat Suku Aywu (hak Marga Woro) sesuai perintah Pasal 43, Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Kelima, Koalisi Peduli Masyarakat Adat Suku Aywu Boven Digoel ini mendesak DPR Papua harus segera mendeklarasikan kondisi krisis iklim yang terjadi di Papua akibat industri ekstraktif yang menghancurkan hutan dan alam Papua.
Keenam, Mendesak DPRP untuk wajib secara simultan membuat kebijakan mitigasi dan adaptasi krisis iklim di Papua dan merekomendasikan kebijakan tersebut diterapkan untuk melindungi rakyat Papua khususnya generasi mendatang mengingat berdasarkan Credit Suisse Global Wealth Databook 2019 menyatakan bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6 persen kekayaan nasional dan 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 74,1 persen kekayaan nasional Konsentrasi kekayaan pula yang menyebabkan tingkat pertumbuhan jangka panjang Indonesia terus melemah, yakni dari 8 persen di dekade 1970 an, menjadi 5 persen selama 2014-2020. Rangkaian draconian law tidak mencari solusi atas ketimpangan yang terjadi melainkan sebaliknya Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Mineral dan Batubara (Minerba) dan UU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi potret betapa politik digunakan untuk kepentingan ekonomi para oligarki.
Dikatakan, Tanah Papua merupakan salah satu tujuan investasi menjadi arena baru oligarki untuk memperkaya dirinya. Salah satunya melalui berbagai penguasaan sumber daya alam di Papua seperti perkebunan dan pertambangan.
“Salah satunya adalah penerbitan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan Kapasitas 90 Ton TBS/Jam Seluas 36 094,4 Hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Tertanggal 02 November 2021 telah menuai protes dari Masyarakat Adat Awyu khususnya Femimpin Marga Woro,” ungkapnya.
Bahkan, lanjutnya, protes terhadap Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 kemudian diwujudkan dengan berbagai cara mulai dari melakukan aksi demostrasi, menanamkan plang berisi Putusan MK Tentang Pengakuan Hutan Adat, Menanamkan Salib dan Bendera Merapatuh di Wilayah Adat Masyarakat Adat Aywu dan Pimpinan Marga Waro mengajukan gugatan terhadap Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Propinsi Papua di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura (PTUN Jayapura) yang terdaftar dengan Register Perkara Nomor: 6/G/LH/2023/PTUN.JPR.
Berkaitan gugatan pimpinan Marga Woro di PTUN Jayapura. Pada perkembangannya ada beberapa pihak yang melibatkan diri sebagai gugatan intervensi seperti Walhi Nasional dan Pusaka Bentala Rakyat yang melibatkan diri sebagai Penggugat Intervensi sementara PT Indo Asiana Lestari sebagai Tergugat Intervensi. Sampai saat ini, proses persidangan telah memasuki fase mendengarkan pendapat ahli.
Ahli juga menjelaskan prinsip free, prior and informed consent (FPIC) atau persetujuan awal tanpa paksaan yang merupakan hak asasi masyarakat adat Pemerintah harus memastikan syarat ini dipenuhi sebelum memberikan izin-izin yang berdampak terhadap masyarakat adat Pengabaian terhadap hal ini berarti pelanggaran terhadap hak masyarakat adat Pemerintah seharusnya memasukkan instrumen FPIC ini dalam amdal, mengingat Indonesia pun telah mengadopsi kebijakan internasional untuk mengatasi krisis iklim.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR P Yonas Alfons Nussi dan Nioluen Kotouki didampingu Sekretaris DPRP Dr Juliana J Waromi, SE, MSi inj menyatakan bahwa jika DPRP secara kelembagaa sudah menerima aspirasi dan akan melanjutkan kepada pimpinan DPRP untuk menindaklanjuti aspirasi ini,“Kami mengapresiasi atas gerakan kreatif pemuda dan pemudi masyarakat adat yang hadir di gedung DPRP untuk menyampaikan aspirasi. Semua aspirasi yang disampaikan, kami terima dengan baik dan kita akan teruskan kepada pimpinan komisi maupun pimpinan DPRP untuk segera mendapatkan perhatian dan melakukan kiat kiat terkait aspirasi ini,” kata Yonas Nussi.
Meski wilayah itu berada di daerah otonom baru, namun lanjut Yonas Nussi, koordinasi antar pemerintah daerah yakni dengan Pj. Gubernur Papua Selatan dan seluruh aparat yang harus dilakukan dalam rangka menyelamatkan hak – hak masyarakat adat di Tanah Papua.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPRP Nioluen Kotouki sepakat bahwa Papua tidak ada tanah kosong. Tapi, ada pemiliknya. “Ini memang sudah menjadi tugas kita bersama, termasuk aktivis terkait persoalan ini. Tapi, dengan aspirasi ini menjembati untuk melukan tugas dan fungsi kita dengan menghadirkan eksekutif agar tahu bagaimana izin itu bisa keluar. Kita sama sama punya tugas untuk melindungi hutan dan tanah kita demi anak cucu kita ke depan agar bisa menikmati,” Ujarnya.
Sedangkan Sekretaris DPRP Dr. Juliana J Waromi, SE, MSi mengapresiasi adanya aspirasi yang disampaikan ke DPR P “Apa yang ade- ade sampaikan, sebagai sekwan tetap kami follow up. Saya akan ingatkan kepada pimpinan dewan dan komisi I DPRP untuk hal ini harus segera ditindaklanjuti. Paling tidak, minggu depan. Apalagi ini, hanya berkaitan dengan SK yang ditandatangani oleh Kepala Dinas PMTSMP Provinsi Papua,” tutupnya
Sekedar diketahui, Dalam aksi demo Koalisi Peduli Masyarakat Adat Suku Aywu yang dikoordinir oleh Anies Jeujanan ini juga melibatkan PMKRI Cabang Jayapura, HMI Cabang Jayapura, GMKI Cabang Jayapura, UKM Dehaling Universitas Cenderawasih, IMPPAS, KOMPAP Papua, Sahabat Kowald, Volunter Green Peace Indonesia. (AW/EP/Tim Humas DPRP)